DIMENSI MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK
SUSILA ATAU BERMORAL
Susila berasal dari kata
su dan sila, yang artinya kepantasan
yang lebih tinggi. Akan tetapi ,
di dalam kehidupan bermasyarakat ,
orang tidak cukup hanya berbuat yang
pantas jika di dalam yang pantas atau
sopan itu, misalnya terkandung kejahatan yang terselubung . oleh karena itu, pengertian susila berkembang
sehingga memiliki perluasan arti
menjadi kebaikan yang lebih .
dalam bahasa ilmiah sering digunakan
dua macam istilah yang
memiliki konotasi berbeda, yaitu etiket (persoalan kepantasan
dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Kedua hal tersebut biasanya
dikaitkan dengan persoalan hak dan kewajiban (Tirtarahardja dan Sulo, 2005: 20).
Dimensi manusia sebagai makhluk susila atau bermoral
berhungan erat dengan social-institision
(pranata sosial). Koentjaraningrat (1964:113) menyebutkan bahwa pranata
sosial adalah suatu sistem
tata kelakuan dan hungan yang
berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-komplek
kebutuhan khusus dalam kehidupan
masyarakat. Pranata sosial ini melambaga
di msayarakat yang didalammnya
berisi himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatau kebutuhan pokok di dalam kehidupan
masyarakat (Sorkarnto, 2002: 198).
Selanjutnya , Soekanto (2002:199) menjelaskan bahwa lembaga kemasyarakatan yang
bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manuisa pada dasarnya mempunyai
beberapa fungsi, yaitu : (1)
memberikan pedoman pada angota
masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap didalam menghadapi
masalah-masalah dalam masyarakat,
terutama yang menyangkut
kebutuhan-kebutuhan; (2) menjaga
keutuhan masyarakt; dan (3) memberikan pegangan kepada masyarakat terhadap masyarakt
untuk mengadakan sistem pengendalian
sosial (social control).
Artinya , sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.
Supaya hubungan
sosial didalam suatu masyarakat berjalan sesuai harapan, di
dalam masyarakat dirumuskan
norma-norma. Norma-norma tersebut
memberikan batas-batas individu
dalam berperilaku, memberikan indentifikasi individu dengan kelompoknya, dan menjaga solidaritas sosial . Untuk itu, prasyarat
hubungan sosial yang baik
dibutuhkan pendidikan di
masyarakat yang bisa mengenalkan kepada anggotanya mengenai
tata susila yang berlaku. Tidak
sekedar mengenalkan, tetapi
mendarah daging, dan
menginternalisasi.
DIMENSI MANUSIA SEBAGAI
MAKHLUK RELIGIUS
Manusia sebagai makhluk religius sering
dikaitkan dengan agama
yang menjadi keyakinan atas
kekuasaan alam semesta, yaitu Tuhan Yang
Maha Esa. Keyakinan tersebut tumbuh dan berkembang menjadi
pegangan hidup manusia.
Peganagan untuk digunakan sebagai landasan untuk mendekati kebenaran atau kebaikan
dan menjauhi kesalahan atau kejahatan.
Pada hakikatnya, manusia
adalah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum
manusia mengenal agama mereka
telah percaya bahwa di luar alam yang dapat dijangkau dengan
perantaraan indranya, diyakini
akan adanya kekuatan supranatural yang
menguasai hidup alam
semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi
dan mendekatkan diri pada kekuatan tersebut diciptakan
mitos-mitos. Misalnya, untuk meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan
bermacam-macam upacara, menyediakan
sesajen-sesajen, dan memberikan
korban-korban. Sikap dan kebiasaan
yang membudaya pada nenek
moyang kita seperti itu dipandang sebagai embrio dari
kehidupan manuisa dalam
beragaman. Kemudian, setelah ada
agama, manusia manusia mulai menganutnya (Tirtarahardja dan Sulo, 2005: 23).
Memang religius tidak sama dengan agama. Religius merupan pelaksanaan pesan-pesan keagamaan dalam
realisasi dengan sesama manusia dan manusia dengan Tuhan. Naim dan Sauqi (2011: 18)
menegaskan walaupun tidak ada yang mengajarkan kekerasan, konflik, dan penguasaan terhadap mereka yang berbeda
secara paksa, kita juga tidak bisa menutup mata melihat kenyataan
bahwa agama sering “dikesankan” dengan wajah kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar