Minggu, 15 Februari 2015

DIMENSI MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SUSILA ATAU BERMORAL


DIMENSI MANUSIA SEBAGAI  MAKHLUK  SUSILA ATAU  BERMORAL

Susila berasal dari kata  su dan sila, yang  artinya  kepantasan  yang  lebih tinggi. Akan tetapi , di dalam kehidupan  bermasyarakat , orang  tidak cukup hanya berbuat yang pantas  jika di dalam yang pantas atau sopan itu, misalnya  terkandung  kejahatan yang terselubung . oleh  karena itu, pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti  menjadi  kebaikan yang lebih . dalam  bahasa ilmiah sering  digunakan  dua macam  istilah yang memiliki  konotasi  berbeda, yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Kedua hal tersebut biasanya dikaitkan  dengan  persoalan hak dan  kewajiban (Tirtarahardja dan Sulo, 2005: 20).

Dimensi manusia sebagai makhluk susila  atau bermoral  berhungan  erat dengan  social-institision (pranata sosial). Koentjaraningrat (1964:113) menyebutkan bahwa pranata sosial  adalah  suatu sistem  tata kelakuan  dan hungan  yang  berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-komplek kebutuhan  khusus dalam  kehidupan  masyarakat. Pranata sosial  ini melambaga di msayarakat  yang didalammnya berisi  himpunan  norma-norma segala tingkatan yang  berkisar pada suatau  kebutuhan pokok di dalam  kehidupan  masyarakat (Sorkarnto, 2002: 198).

Selanjutnya , Soekanto (2002:199) menjelaskan  bahwa lembaga kemasyarakatan  yang  bertujuan  memenuhi  kebutuhan-kebutuhan pokok  manuisa pada dasarnya  mempunyai  beberapa  fungsi, yaitu : (1) memberikan  pedoman  pada angota  masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau  bersikap didalam  menghadapi  masalah-masalah dalam  masyarakat, terutama yang  menyangkut kebutuhan-kebutuhan; (2) menjaga  keutuhan  masyarakt; dan  (3) memberikan  pegangan kepada masyarakat terhadap masyarakt untuk mengadakan  sistem  pengendalian  sosial (social control). Artinya , sistem  pengawasan masyarakat  terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.

Supaya hubungan  sosial  didalam  suatu masyarakat berjalan sesuai harapan, di dalam  masyarakat  dirumuskan  norma-norma. Norma-norma tersebut  memberikan  batas-batas individu dalam berperilaku, memberikan indentifikasi individu dengan  kelompoknya, dan menjaga  solidaritas sosial . Untuk itu, prasyarat hubungan  sosial  yang baik  dibutuhkan pendidikan  di masyarakat  yang bisa mengenalkan kepada anggotanya  mengenai  tata susila yang berlaku. Tidak  sekedar mengenalkan,  tetapi mendarah  daging,  dan  menginternalisasi.

DIMENSI MANUSIA SEBAGAI  MAKHLUK  RELIGIUS
Manusia sebagai makhluk religius  sering  dikaitkan  dengan  agama  yang menjadi  keyakinan atas kekuasaan alam semesta, yaitu Tuhan  Yang Maha  Esa. Keyakinan  tersebut tumbuh  dan berkembang  menjadi  pegangan hidup  manusia. Peganagan  untuk  digunakan sebagai landasan  untuk mendekati  kebenaran atau  kebaikan  dan menjauhi kesalahan atau kejahatan.

Pada hakikatnya, manusia  adalah  makhluk  religius. Sejak dahulu kala,  sebelum  manusia  mengenal agama mereka telah  percaya bahwa di luar alam  yang dapat dijangkau  dengan  perantaraan  indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang  menguasai  hidup  alam  semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi  dan mendekatkan  diri  pada kekuatan tersebut diciptakan mitos-mitos. Misalnya,  untuk  meminta sesuatu  dari kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan bermacam-macam  upacara, menyediakan sesajen-sesajen, dan  memberikan korban-korban. Sikap  dan  kebiasaan  yang membudaya pada nenek  moyang  kita seperti itu  dipandang sebagai embrio  dari  kehidupan manuisa dalam  beragaman. Kemudian, setelah  ada agama, manusia manusia mulai menganutnya (Tirtarahardja dan Sulo, 2005: 23).


Memang religius tidak sama dengan  agama. Religius merupan pelaksanaan  pesan-pesan keagamaan  dalam  realisasi dengan sesama manusia dan manusia  dengan Tuhan. Naim dan Sauqi (2011: 18) menegaskan walaupun  tidak  ada yang mengajarkan kekerasan, konflik,  dan penguasaan terhadap mereka yang berbeda secara paksa, kita juga tidak bisa menutup mata melihat  kenyataan  bahwa agama sering “dikesankan” dengan wajah kekerasan.

Tidak ada komentar:

 

Sample text

Sample Text

Sample Text




MURRY YADI HIDAYAT, ST
Web Disign & Development

 
Blogger Templates